Peranan Ibu di jaman modern
ribuan kilo jalan yang engkau tempuhlewati rintang untuk aku, anakmu
ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
seperti udara kasih yang engkau berikan
tak mampu ku membalas..ibu..ibu.. (Iwan Fals)
Syair diatas telah bercerita banyak betapa seorang ibu akan berbuat apapun demi anaknya. Dari waktu ke waktu ibu selalu menemani kita. Sejak dalam kandungan selama lebih 9 bulan, merawat kita ketika bayi, menyekolahkan, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, hingga sekarang kita dewasa. Kasih ibu selalu menemani.
Di jaman modern peranan ibu mulai bergeser. Pada jaman dahulu fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) masih sangat dominan. Proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia ini seiring dengan kemajuan jaman berubah menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah) menggantikan peran orang tua. Alma mater, kemudian menjadi istilah yang sangat populer sebagai ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu.
Perubahan dan perkembangan jaman memang tidak secara otomatis membawa kemajuan dalam peran seorang ibu. Indonesia, sebagai negara berkembang juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi ini. Ibu dari ayah, mungkin memiliki peran berbeda dengan ibu kita. Sebagai mana peran seorang ibu rumah tangga dengan ibu yang bekerja di luar rumah. Tetapi yang harus kita ingat, bahwa kasih ibu tetap dan tidak berubah. Keadaanlah yang berubah.
Ada sebuah kisah menarik, dari negeri Jepang. Sebelumnya, saya ingin bertanya: stereotip apa yang melekat di benak anda jika mendengar kata Jepang ? etika kerjanya? pendidikannya? kebudayaannya? kemajuan ekonominya?
Seorang pendidik Amerika, Tony Dickensheets, selama beberapa bulan di tahun 1996 hidup berpindah-pindah di keluarga Jepang dan mengamati. Penelitiannya menyimpulkan, unsur kunci dari economic miracle (keajaiban ekonomi) Jepang adalah Kyoiku Mama atau education mama (pendidikan yang diberikan oleh ibu). Sementara kebanyakan orang mungkin menganggap etika kerja karyawan yang biasa berbaju biru tua lah penggerak utama sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern.
Kepada Kompas, 7 Juli 2007, Daoed Joesoef menceritakan kisahnya ketika berkunjung ke negeri Sakura. Suatu hari ia berjalan-jalan di sebuah toko buku, pada saat itu ia melihat seorang ibu dan anaknya yang SD sedang sibuk memilih-milih buku. Daoed menyapa, si ibu kemudian datang mendekat lalu menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sembari mengucapkan sesuatu yang ditiru oleh anak kecil itu. Setelah mengetahui ia bukan hanya orang asing tetapi juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (era Soeharto), makin banyaklah kemudian anak-anak yang meminta Daoed menanda-tangani buku yang baru mereka beli. Sejak kecil anak-anak Jepang diajarkan menyukai buku dan menghormati budaya.
Bangsa kita mungkin sudah tidak lagi memandang peran ibu hanya sebagai pendamping suami, melahirkan anak, membesarkannya, sekaligus mengurus rumah tangga (memasak, dsbnya). Tetapi juga sebagai wanita pekerja. Ada anggapan perempuan berpendidikan tinggi yang hanya tinggal di rumah, telah menyia-nyiakan waktu dan kemampuannya.
Hal berbeda yang patut kita tiru dari ibu-ibu di Jepang adalah anggapan bahwa seorang ibu seharusnya berpendidikan dan berpengetahuan agar mampu mengasuh sekaligus membesarkan putra-putri dengan baik dan benar. Tony Dickensheets, mengatakan ini sebagai, a pure Japanese phenomenon.
Akankah globalisasi dan jaman modern memberi tempat kembali pada fungsi scola matterna?
Mungkin juga. Paling tidak jika kita kembali kepada ajaran Hindu, Catur Guru. Mengajarkan bahwa pendidikan berawal dari keluarga. Guru Rupaka (orang tua) mengajarkan pendidikan yang paling dasar, sekaligus mendidik untuk dapat belajar dari Guru Pengajian ( di sekolah), Guru Wisesa (pemerintah), dan Guru Swadhyaya (Tuhan). Masa depan adalah milik anak-anak. Dan peran besar di tangan ibu untuk membantu mewujudkannya.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar